Penangkapan sejumlah tersangka baru dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah PT Timah Tbk membuat publik terbelalak. Warganet dibuat berpikir keras tentang sebanyak apa Rp271 triliun yang disebut merupakan potensi kerugian negara dalam kasus tersebut.
Dua dari 16 tersangka yang sudah ditetapkan Kejaksaan Agung (Kejagung) merupakan nama yang acapkali didengar masyarakat. Ada crazy rich Pantai Indah Kapuk (PIK) Helena Lim hingga suami aktris Sandra Dewi yang bernama Harvey Moeis.
Harvey yang dipandang sebagai husband material oleh segelintir kaum hawa diduga terlibat sebagai “tikus kotor” dalam kasus itu.
Ia merupakan perpanjangan tangan dari PT Refined Bangka Tin (RBT) yang disinyalir menerima uang hasil korupsi berkedok dana corporate social responsibility (CSR) dari para pengusaha.
“Setelah dilakukan beberapa kali pertemuan, akhirnya disepakati bahwa kegiatan akomodir pertambangan liar tersebut adanya di-cover dengan sewa menyewa peralatan processing peleburan timah, yang selanjutnya tersangka HM ini menghubungi beberapa smelter, yaitu PT SIP, CV VIP, PT SPS, dan PT TIN, untuk ikut serta dalam kegiatan dimaksud,” tutur Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejagung Kuntadi usai Harvey ditetapkan sebagai tersangka di Kejagung, Rabu (27/3).
Suami Sandra Dewi itu dijerat Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Harvey juga ditahan oleh Kejaksaan Agung demi kepentingan penyidikan.
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Melky Nahar menegaskan hal utama untuk membersihkan sengkarut korupsi di pertambangan kudu dimulai dari aparat penegak hukum (APH). Menurutnya, tersangka yang ditetapkan Kejagung saat ini masih berupa ‘tikus kecil’.
“Dalam kasus korupsi timah di Bangka Belitung, sebetulnya yang menjadi tersangka saat itu adalah pemain-pemain kecil, seperti jajaran kepengurusan perusahaan atau manajemen selaku operator,” ucap Melky kepada CNNIndonesia.com, Senin (1/4).
“Kejagung tampak belum punya nyali untuk membongkar apa peran aparat penegak hukum, semisal Kepolisian yang diduga ikut membiarkan keberadaan tambang ilegal beroperasi, hingga kemudian terjadi proses kerja sama dengan pihak PT Timah untuk terlihat sah secara regulasi,” tuturnya.
Melky mengendus indikasi keterlibatan aparat dalam main kotor di tambang timah ini sudah merebak sejak 2019. Akan tetapi, tiba-tiba pemerintah kembali tertunduk seakan tak tahu.
Ia mempertanyakan di mana ketegasan negara dan aparat ketika PT Timah menjalin kerja sama dengan lima perusahaan smelter. Kerja sama itu disebut untuk menampung timah dari hasil penambangan ilegal.
“Kepolisian, dalam hal ini, patut dicurigai tak hanya mendapat keuntungan secara finansial, juga tampak melindungi aktor yang seharusnya diproses hukum,” tegasnya.
Menurut Melky, tanpa membersihkan aparat penegak hukum ini, mustahil Indonesia bisa memutus mata rantai korupsi pertambangan.
JATAM merinci empat celah yang mungkin menjadi pintu masuk permainan para aktor korupsi ini. Pertama, sejak pra-perizinan, seperti administrasi, teknis, finansial, dan urusan lingkungan.
Kedua, Melky menyebut ada celah dalam urusan perizinan. Ini bisa dilihat dari perolehan wilayah, seperti wilayah izin usaha pertambangan (WIUP), wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK), hingga wilayah pertambangan (WP).
Tak sampai di sana, celah dalam urusan perizinan bisa dimasuki dari lelang wilayah untuk mineral logam dan batu bara, permohonan wilayah untuk mineral bukan logam, batuan, hingga izin pertambangan rakyat.
“Ketiga, pembinaan dan pengawasan. Persetujuan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB); persetujuan rencana reklamasi dan pascatambang; pengawasan operasional tambang, seperti operasi produksi yang mencakup penambangan, pengangkutan, penjualan, pengolahan, dan pemurnian,” jelasnya.
Keempat, dalam urusan penegakan hukum. Melky mencontohkan bias kepentingan yang menyangkut aspek perlindungan dan jaminan keamanan perusahaan.
Bersambung ke halaman berikutnya…